I.
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang
sempurna yang tentunya sudah memiliki aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan
dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki
sumber-sumbernya sendiri sebagai pedoman dan pelaksananya.
Kehadiran agama islam
yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan
manusia yang lebih baik, sejahtera lahir dan batin.
Petunjuk-petunjuk agama
mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat dalam sumber
ajarannya, yaitu Al-Qur’an yang merupakan sumber ajaran islam pertama dan
Hadist merupakan sumber yang kedua, tampak ideal dan agung. Ditambah lagi
dengan berbagai pemikiran-pemikiran ulama’ tentang hukum-hukum yang masih
global di pembahasan Al-Qur’an dan Hadist Al-Qur’an adalah kitab suci yang
isinya mengandung firman-firman Allah SWT turun secara bertahap kepada Nabi
Muhammad melalui perantara malaikat jibril. Sunnah adalah segala sesuatu yang
berasal dari Nabi Muhammad SAW baik perbuatan, perkataan, dan penetapan
pengakuan. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai
akal pikiran mengenai berbagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa
mengembangkan, kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka,
demokratis, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, menghormati antar
agama, berakhlak mulia, dan bersikap positif lainnya.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apakah Pengertian Al-Qura’n dan Ruang lingkupnya ?
A.1 Kandungan dan Fungsi Al-Qur’an.
A.2 Asbab
AlNuzul.
A.3 Kemukjizatan Al-Qur’an.
A.4 Nama Al-Qur’an.
B.
Bagaimanakah Ruang Lingkup Hadis?
B.1 Bentuk-bentuk Hadis.
B.2 Ilmu Hadis.
B.3 Unsur-unsur Hadis.
B.4 Pembagian Hadis
§ Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitasnya.
§ Hadis Ditinjau dari Segi Kualitasnya.
C.
Seputar Pengertian dan Ruang lingkup Ijtihad.
C.1 Pengertian Ijtihad.
C.2 Fungsi Ijtihad.
C.3 Sumber Hukum Ijtihad.
C.4 Macam-macam dan Syarat ijtihad.
C.5 Tingkatan Mujtahid.
C.6 Batasan-Batasan Ijtihad.
III.
PEMBAHSAN
A.
Pengertian Al-Qur’an dan Ruang lingkupnya
Al-Qur’an adalah nama bagi
kitab suci umat islam yang berfungsi sebagai petunjuk hidup ( hidayah ) bagi
seluruh umat manusia. Al-Qur’an diwahyukan olah Allah kepada nabi Muhamad
setelah beliau genap berumur 40 tahun. Al-Qur’an diturunkan kepada beliau
secara berangsur - angsur selama 23 tahun. Turunya Al-Qur’an kepada beliau
tidak menentu dari segi waktu dan keadaan. Kadangkala pada waktu musim panas
dan adakalanya di musim dingin. Kadangkala malam hari tetapi sering pula turn
di siang hari. Kadangkala dalam berpergian tetapi sering pula turun pada saat
beliau tidak dalam berpergian. Semuanya itu Allah yang mengaturnya, bukan
kehendak Rasulullah.[1]
Al-Qur’an adalah kalimat Allah
yang sudah sempurna benar dan adil isinya. Tidaklah ada yang mengubah
kalimat-kalimat Allah tersebut. Al-qur’an itu tidak ain hanyalah petunujuk
semesta alam.[2]
Menurut kebanyakan kitab
ulumul Qur’an sebagai berikut:
Al-qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhamad SAW
untuk mengalahkan musuh dengan satu surah darinya, dan menerangkan akida-akidah
dan hukum-hukum dll.
A.1 Kandungan dan fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab sarat dengan kandungan, mulai
hukum, akidah, etika, hubungan sosial dan sebagainya.
Fungsi diturunkanya Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi manusia dan
sebagai penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu. Selain itu juga sebagai pembeda
antara yang hak dan yang batil. Al-qur’an tidak ada keraguan didalamnya bagi
orang-orang yang beriman dan bertakwa sensntiasa ingin mendapatkan petunju dari
Allahdalam hidupnya.
Dari keseluruhan isi al-Qur’an,
sebagaimana dikatakan oleh Kallaf, pada dasarnya mengandung pesan-pesan:
1.
Masalah tauhid, termasuk di dalamnya
masalah kepercayaan terhadap yang gaib.
2.
Masalah ibadah, yaitu perbuatan-perbuatan
yang mewujudkan dan menghidupkan di dalam hati dan jiwa.
3.
Maslah janji dan acaman, yaitu jani dengan
aasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan ancaman atau siksa bagi mereka
yang berbuat jahat, janji akan memperoleh kebahagian dunia akherat, dan ancaman
akan mendapat kesengsaraan dunia akherat, janji dan ancaman di akhirat berupa
surga an neraka.
4.
Jalan menuju kebahagiaan dunia-akhirat,
berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar dapat
mencapai keridhohan Allah.
5.
Riwayat dan cerita, yaitu sejarah
orang-orang terdahulu, baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun Nabi dan
Rosul Allah.
Ditinjau
secara garis besar dari hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, kandungan
al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi tiga.
1.
Hukum-hukum yang berkenaan dengan i’tiqad
(kenyakinan) yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan iman kepada Allah SWT,
malaikat-malaikat-Nya, dan rasul-rasul-Nya.
2.
Hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak
(etika), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan perilaku hati yang
mengajak manusia untuk berakhlak mulia
dan berbudi luhur.
3.
Hukum-hukum yang berkenaan dengan
amaliyyah (tindakan praktis), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan semua
tndakan yang dilakukan oleh manusia secara nyata, meliputi ucapan serta
perbuatan yang berhubungan dengan perintah,larangan, dan penawaran yang
terdapat al-Qur’an.
Pokok kandungan yang
ketiga ini secara dimensional mencakup pola hubungan vertikal dan horisontal.
Amaliyyah yang berdimensi vertikal adalah amaliyyah yang berkanaan dengan
hubungan dengan hamba dengan Allah. Bentuknya adalah ibadah. Bentuk ibadah
antara lain: mahdlah, seperti sholat dan puasa. Ada berbentuk ghairu mahdlah
yang juga mengandung maliyyah-ijtima’iyyah (sosial-kebendaan) seperti zakat dan
juga badaniyyah-ijtima’iyyah (sosial-kejasmani) sebagaimana haji. Keempat jenis
ibadah ini (shalat, puasa,zakat, dan haji) dijadikan sebagai dasar Islam
setelah iman.
Adapun amaliyyah yang
berdimensi horizontal adalah amaliyyah yang berkenaan dengan hubungan antar
hamba satu dengan yang lainnya. Amaliyyah jenis ini dapta diklasifikasikan
menjadi empat macam;
1.
Aturan syari’at yang berorientasi
perluasan dan pengamanan dakwah Islam, yaitu jihad.
2.
Aturan syari’at yang berorientasi
membangun tatanan rumah tangga sebagaimana hal ihwal perkawinan, talak, nasab,
pembagian harta pustaka dan lain sebagainya.
3.
Aturan yang berorientasi pada regulasi
hubungan antar manusia seperti jual beli, persewaan,dll yang dikenal dengan
mu’amalah(transaksi).
4.
Aturan atau undang-undang yang memuat
sanksi atas tindak kejahatan. Hal ini diterapkan dengan qishash dan had.
Materi yang terkandung
dalam Al-Qur’an sangat banyak dan beragam dari hubungan manusia dengan Allah,
hubungan antar manusia dengan alam semesta. Sebagian ulama memberikan intisari
dari kandungan Al-Qur’an menjadi 3 hal yaitu:
1.
Pengetahuan tentang Zat yang disembah
(ma’rifatul-ma’bud)
2.
Pengetahuan tentang cara beribadah
(ma’rifatu kaifiyyahtil-ibadah)
3.
Pengetahuan tentang nasib manusia (ma’rifatu
masiril-ibad)[3]
A.2 Asbab al-Nuzul
Proses turunya wahyu adakalanya dilatarbelakangi oleh
sebuah peristiwa, atau pertanyaan sahabat, dan adakalanya tanpa sebab yang
menjadi latar belakangnya. Artinya, ada ayat yang turun tanpa ada preseden yang
mandahulinya. Ayat dalam kategori semacam ini turun memang atas kehendak
Allah.
Asbab al-nuzul adalah hal-hal yang diungkapkan atau
dijelaskan hukumnya oleh suatu ayat atau beberapa ayat pada saat ayat tersebut
diturunkan. Secara lebih jelas, yang dimaksud dengan asbab al-nuzul
adalah peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah atau pertanyaan-pertanyaan
yang dating dari kalangan sahabat yang mana pertanyaan-pertanyaan tersebut
menjadi perhatian khusus Rasulullah.
Ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan
mengetahui asbab al-nuzul:
1.
Mengetahui hikmah pensyari’atan suatu
hukum.
2.
Membantu pemahaman makna suatu ayat serta
menjelaskan isykal ( kejanggalan atau kesulitan makna).
3.
Menepis persangkaan hasr (ketentuan pada
suatu hal semata). Sebagaimana firman Allah dalam surat al-An’am [6]:145
Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua
itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa
yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang".(QS.Al-an’am 145)
Imam al-Syafi’i
mengatakan bahwa orang-orang kafir menganggap haram terhadap apa yang
dihalalkan oleh Allah, menganggap halal apa yang diharamkan oleh Allah, dan
selalu berseberangan dan bertentangan dengan syari’at-Nya, maka turunlah ayat
ini dengan tujuan menentang kehendak mereka.
4.
Men-takhshish hukum dengan asbab al-nuzul
ayat.
5.
Mengetahui bahwa sebab turunnya ayat tidak
keluar dari cakupan keumuman hukumnya, walaupun ada keterangan yang
men-takhshish keumuman ayat.
6.
Mengetahui tentang apa dan tentang siapa
ayat diturunkan.
7.
Secara psikologis dapat memudahkan
penghafalan dan menancapkan kefahaman bagi orang yang mendengarkan ayat
ssekaligus mengetahui latar belakang turunnya.
Asbab al-nuzul bisa ditinjau dari berbagai aspek.
Salah satunya ditinjau dari aspek bentuknya. Pertama, berbentuk
peristiwa. Kedua, berbentuk pertanyaan. Asbab al-nuzul berbentuk peristiwa
ada tiga macam, pertengkaran; kesalahan yang serius; dan cita-cita dan
harapan. Asbab al-nuzul yang bentuk pertanyaan dibagi menjadi tiga macam
pula, yaitu pertanyaan tentang masa lalu, masa yang sedang berlangsung, dan
masa yang akan datang.
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang menurun, asbab
al-nuzul dapat dibagi menjadi ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid (sebab
turunnya lebih dari satu dan inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau
sekelompok ayat yang turun satu) dan ta’addud al-nazil wa al-asbab wahid (inti
persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari
satu sedangkan sebab turunnya satu). Sebab turunnya ayat disebut ta’addud
bila ditemukan dua riwayat yang berbeda atau lebih tentang sebab turun suatu
ayat atau sekelompok ayat tertentu. Sebaliknya, sebab itu disebut wahid atau
tunggal bila riwayatnya hanyu ayat satu. Suatu ayat atau sekelompok ayat
yang turun disebut ta’addud al-nazil, bila inti persoalan yang terkandung dalam
ayat yang turun sehubungan dengan sebab tertentu lebih dari satu persoalan.
Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab
turunnya ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda
dari yang disebut lawannya, maka kedua riwayat ini diteliti dan
dianalisis. Permasalahannya ada empat bentuk. Pertama, salah satu dari
keduanya sahih dan yang lainnya tidak. Kedua, keduanya sahih. Akan tetapi salah
satunya mempunyai penguat (murajjih), dan yang lainnya tidak. Ketiga,
keduanya sahih dan keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat (murajjih). Akan
tetapi keduanya dapat diambil sekaligus. Bentuk keempat, keduanya sahih, tidak
mempunyai penguat (murajjih), dan tidak mungkin mengambil keduanya sekaligus.
Bentuk pertama diselesaikan dengan jalan memegangi
riwayat yang sahih dan menolak yang tidak sahih. Bentuk kedua penyelesainnya
dengan mengambil yang kuat (rajihah). Penguat (murajjih) itu adakalanya
salah satunya lebih sahih dari yang lainnya atau periwayat salah satu dari
keduanya menyaksikan kisah itu berlangsung sedang periwayat lainnya tidak demikian.
Bentuk ketiga penyelesainnya dengan menganggap terjadinya beberapa sebab bagi
turunnya ayat tersebut. Adapun bentuk keempat penyelesainnya dengan
menganggap berulang-ulangnya ayat itu turun sebanyak asbab al-nuzul-nya.
A.3 Kemukjizatan Al-Qur’an
Mukjizat
ialah perkara luar biasa yang disertai tangan dan tidak ada yang sanggup
menjawab tantangan itu. Menurut jalaludin as-Suyuti mukjizat dibagi menjadi dua
yakni yang bersifat empiris dan yang bersifat aqliyah. Yusuf Qardawi juga membagi mukjizat seperti yang di
ungkapkan as-suyuti walaupun dengan bahasa yang berbeda yaitu mukjizat yang
terindra dan materiildan yang immateri dan intelek. Yang terindera sama dengan
empiris dan yang immetateri dan intelek sama dengan aqliyah.
Mukjizat
yang bersifat material banyak dianugerahkan Allah kepada Nabi-Nabi sebelum Nabi
Muhammad saw. Seperti yang disebutkan dalam AL-Qur’an .Diantaranya adalah onta
Nabi Shalih, Tongkat Nabi Musa,Kemampuan Nabi Sulaiman memahami bahasa
binatang, kemampuan Nabi Isa menyembuhkan penyakit dan lain-lain. Sedangkan
mukjizat yang bersifat intelek adalah mukjizat berupa kitab AL-Qur’an yang
diberikan kepada Rasulullah saw.
Allah
menjadikan AL-Qur’an sebagai tanda kekuasaan terbesar dan mukjizat teragung
bagi Nabi Muhammad saw. Bahkan Allah menjadikan tanda kebesaran satu-satunya
yang bersifat menantang. Allah tidak meenantang orang-orang musyrik dengan
setiap benda (kejadian) yang Allah anugerahkan dengan segala keragaman dan
kuantitasnya, kecualali AL-Qur’an. Sehingga, mukjizat Isra (memperjalankan Nabi
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha) dan mikraj(dari Masjidil Aqsha kelangit
tertinggi,sidratil muntaha), tidak dianggap AL-Qur’an sebagai mukjizat yang
menantang. Allah menantang mereka hanya dengan AL-Qur’an.
A.4 Nama Al Qur’an
Al-Qur’an
memiliki bebeapa nama sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi
Muhammad saw. Diantara sekian banyak nama yang paling mashur adalah Al-Kitab
dan Al-Qur’an.Dinamakan Al-kitab karena memberi pengertian bahwa wahyu yang
dirangkum dalam bentuk tulisan yang merupakan kumpulan huruf-huruf dan
menggambarkan ucapan(lafal).[4]
Sedangkan wahyu itu dinamakan Al-Qur’an karena memberikan pengertian
bahwa itu itu tersimpan di dalam dad manusia, mengingat nama ssAl-Qur’an
sendiri berasal dari kata qiro’ah dan di dalam qiro’ah terkandung makna agar
selalu ingat.
Imam as-Suyuti memerinci
nama-nama lain dari Al-Qur’an yaitu: Busro (kabar gembira), ilmu (pengetahuan),
Al urwatu (itikat yang kuat), Hablullah (tali Allah), bayaanun linnas
(keterangan bagi manusia), munadiy (penyeru), nurun mubin (cahaya yang
terang),muhaimin (penyaksi), al adl (keadilan), sirothum mustaqim (jalan
lurus),basha’ir (penjelas), kalmullah (kalam allah), hakib (bijaksana) dll.
Nama al qur’an yang
sedemikian banyak ini mengisyaratkan bahwa al qur’am adalah kitab suci
yang berdimensi banyak dan berwawasan luas serta menunjukan kemulyaan dan
kesempurnaanya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan al fairuz abadi bahwa
banyaknya nama yang di sematkan dalam al qur’an adalah untuk menunjukan
kemulyaan dan kesempurnaan al qur’an, yaitu sebagai pedoman dalam mengarungi kehidupan menuju kebahagiaan
dan kesejahteraan.[5]
Sebagaimana disinggung
dalam tulisan diatas bahwa salah satu nama Al-Qur’an asy-syifa yang artinya
penawar atau penyembuh. Jadi Al-Qur’an adalah obat bagi manusia, bagi penyakit
ruhahani maupun jasmania.[6]
B. HADIS
Hadis atau al-hadis menurut bahasa al-jadid
yang artinya sesuatu yang baru –lawan dari al-Qadim-artinya yang berarti
menunjukan kepada waktu yang dekat atau waktu yang seperti (orang yang baru masuk/memeluk
agama islam). Hadis juga sering disebut dengan al-khabar, yang berarti berita,
yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang
lain, sama maknanya dengan hadits. Dimana hadits mencakup segala perktaan,
perbuatan dan taqrir nabi SAW.
B.1
BENTUK-BENTUK HADIS
Pada bahasan ini akan diuraikan tentang
bentuk hadis Qauli, Fi’li, Taqriri, Hammi dan Ahwali.
Ø Hadis Qauli
Yang
dimaksud dengan hadis qauli adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW.
Yang berupa perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara’,
peristiwa, dan keadaan, baik yang berkaitan dengan aqidah, syari’ah, ahlak
maupun yang lainnya. Contonya tentang do’a Rosul SAW dan bacaan al-Fatihah
dalam shalat.
Ø Hadis
Fi’li
Yang
dimaksudkan dengan Hadis Fi’li adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW
berupa perbuatannya sampai kepada kita. Seperti Hadis tentang Shalat dan Haji.
Ø Hadis
Taqriri
Yang
dimaksud hadis Taqriri adalah segala hadts yang berupa ketetapan Nabi SAW.
Membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, setelah memenuhi
beberapa syarat, baik mengenai pelakunya maupun perbuatannya.
Diantara
contoh hadis Taqriri, ialah sikap Rosul SAW. Membiarkan para sahabat
melaksanakan perintahnya,sesuai dengan penafsirannya masing-masing sahabat
terhadap sabdanya.[7]
Ø Hadis
Hammi
Yang
dimaksud dengan Hadis Hammi adalah hadis yang berupa hasrat Nabi SAW. Yang
belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Dalam
riwayat Ibn Abbas, disebutkan sebagai berikut:
“Ketika
Nabi SAW berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk
berpuasa, mereka berkata: Ya Nabi! Hari ini adalah hari yang diagung-agungkan
orang Yahudi dan Nasrani.Nabi SAW. Bersabda: Tahun yang akan datang insya’Allah
aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan”.(HR.Muslim)
Nabi
SAW belum sempat merealisasikan hasratnya ini, karena wafat sebelum sampai
bulan ‘Asyura. Menurut imam Syafi’I dan para pengikutnya, bahwa menjalankan
Hadits Hammi ini disunnahkan, sebagaimana menjalankan sunnah-sunnah yang
lainnya.
Ø Hadis
Ahwali
Yang
dimaksud dengan Hadis Ahwali adalah Hadis yang berupa hal ihwal Nabi SAW. Yang
menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya. Tentang keadaan fisik
Nabi SAW dalam beberapa Hadis disebutkan, bahwa fisiknya tidak terlalu tinggi
dan tidak pendek, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Barra dalam sebuah Hadis
riwayat Bukhari, yang berarti :
“Rasul
SAW adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak
tinggi dan tidak pendek”.(HR.Bukhari)
B.2 ILMU HADIS
Pengrtian
Ilmu Hadis, menurut ulama Mutaqqaddimin :
“Ilmu
pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan Hadis sampai
kepada Rasul SAW. Dari segi ihwal para perawinya,kedabitan, keadilan dan dari
bersambung tidaknya sanad dan sebagainnya”.
Pada
perkembangan selanjutnya, oleh ulama mutaakhirin, ilmu hadis ini dipecah menjadi
dua, ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah.
a.
Ilmu Hadis Riwayah
Ialah
“Ilmu pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi
SAW, baik berupa perkataan, perbuatan taqrir, tabi’at maupun tingkah
lakunya".
Obyek
ilmu Hadis Riwayah ialah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang
lain, dan memindahkan atau mendewankan. Dalam membukukan dan menyampaikan Hadis
hanya disebutkan apa adanya, baik yang berkaitan dengan matan maupun sanadnya.
Ilmu ini tidak membicarakan tentang Syadz (kejanggalan) dan ‘Illat (kecacatan)
matan Hadis. Demikian pula ilmu ini tidak membahas tentang kualitas para
perawi, baik keadilan, kedabitan, atau fasikannya.
Adapun
faedah mempelajari ilmu Hadis Riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan
yang salah dari sumbernya yang pertama, yaitu Nabi SAW.
b.
Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu
Hadis Dirayah biasa juga disebut sebagai Ilmu Musthalah Al-Hadits, Ilmu Ushul
Al-Hadits, Ulum Al-Hadits, dan Qawa’id Al-Tahdits.
Ibnu
al-Akfani mendefinisikan ilmu ini sebagai berikut:
“Ilmu
pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam
dan hokum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi, baik
syarat-syaratnya, macam-macam Hadis yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan
dengannya”.
Yang
dimaksud dengan:
·
Hakikat periwayatan adalah penukilan
hadis dan penyandarannya kepada sumber Hadis atau sumber berita.
·
Syarat-syarat periwayatan ialah
penerimaan perawi terhadap Hadis yang akan diriwayatkannya denngan
bermacam-macam cara penerimaan, Seperti melalui Al-sama (pendengaran),
Al-Qira’ah (pembacaan), Al-Washiah (berwasiat), Al-ijazah (pemberian ijin dari
perawi).
·
Macam-macam periwayatan ialah
membicarakan sekitar bersambung dan terputusnya periwayatan dan lain-lain.
·
Hukum-hukum Periwayatan ialah
pembicaraan sekitar diterima atau ditolaknya suatu Hadis.
·
Keadaan para perawi ialah pembicaraan
sekitar keadilan, kecacatan para perawi, dan syarat-syarat mereka dalam
menerima dan meriwayatkan Hadis.
·
Macam-macam Hadis yang diriwayatkan
meliputi hadis-hadis yang dapat dihimpun pada kitab-kitab tanshif, ktab tasnid,
dan kitab mu’jam.[8]
B.3
UNSUR-UNSUR POKOK HADIS
1. Sanad
Kata “sanad” menurut
bahasa adalah “sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan
demikian, karena hadis bersandar kepadanya. Menurut istilah, “Silsilah orang-orang
(yang meriwayatkan hadis), yang menyampaikan kepada matan hadis”.
Yang berkaitan dengan
istilah sanad, terdapat kata-kata seperti al-isnad,al-musnid, dan al-musnad.
Kata al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan
(mengembalikan ke
asal), dan mengangkat. Sedang kata al-musnad, mempunyai beberapa arti. Bisa
berarti hadis yang disandarkan atau disanadkan oleh seseorang; bias berarti
nama suatu kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan system penyusunan
berdasarkan nama-nama para sahabat para perawi hadis, sperti kitab Musnad
Ahmad; bias juga berarti nama bagi Hadis yang marfu dan muttasil.
2. Matan
Kata “matan” atau
“al-matn” menurut bahasa berarti mairtafa’a min al-ardhi (tanah yang meninggi).
Sedang menurut istilah:
“Suatu tempat
berakhirnya sanad”atau’Lafaz-lafaz hadis yang didalamnya mengandung makna-makna
tertentu”.
3. Rawi
Kata “Rawi”
atau”al-rawi” berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadis (naqil
al-hadits).
Sebenarnya antara sanad dan rawi
itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadis pada
tiap-tiap tabaqahnya, juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah
orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadis. Akan tetapi yang membedakan
antara rawi dan sanad adalah terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadis.
Orang yang menerima hadis dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin,
disebut dengan perawi. Dengan demikian, maka perawi dapat disebut mudawwin
(orang yang membukukan dan menghimpun).
B.4 PEMBAGIAN HADIS
§ HADIS
DITINJAU DARI SEGI KUANTITAS
i.
Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut
bahasa berarti mutatabi yakni yang dating berikutnya atau beriring-iringan yang
antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya. Secara istilah “Hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka
bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”.
Syarat hadis mutawatir
menurut ulama mutaakhirin:
a. Diriwayatkan
oleh sejumlah besar perawi
b. Adanya
keseimbangan antara perawi pada thaqabat pertama dengan thaqabat berikutnya
c. Berdasarkan
tanggapan pancaindra
ii.
Hadis Ahad
Al-ahad jama’ dari
ahad, menurut bahasa berarti al-wahid
atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan
oleh satu orang.
Sedang yang dimaksud
hadis ahad menurut istilah “Khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasab
jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan
seterusnya yang tidak memberikan pengertan bahwa jumlah perawi tersebut tidak
sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir”.
§ HADIS DITINJAU DARI SEGI KUALITASNYA
i.
Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa
berarti ma’khaz (yang diambil) dan mushaddaq(yang dibenarkan atau diterima).
Sedangkan menurut istilah: ‘hadis yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan”.[9]
Syarat-syarat
penerimaan suatu hadis menjadi hadis yang maqbul berkaitan dengan sanadnya,
yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yag adil lagi dhabit, dan
juga berkaitan dengan matannya tidak syadz dan tidak ber’illat.
ii. Hadis
Mardud
Mardud menurut bahasa
berarti “yang ditolak” atau yang “tidak diterima”. Sedang menurut istilah:
“hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul”.
C. IJTIHAD
C.1PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad secara
bahasa berarti Pencurahan segenap kesangguoan untuk mendapatkan sesuatu urusan
atau sesuatu perbuatan.
Sedangkan menurut
istilah adalah pencurahan segenap kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan
hukum syara’ yang amali dari dalil-dalilnya yang tafsili.
Abdul Wahab Khallaf
menerangkan Ijtihad dalam arti luas, meliputibeberapa hal berikut:
a. Pencurahan
segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang dikehendaki oleh nas yang
zanni dalalahnya.
b. Pencurahan
segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali dengan meneyapkan kaidah syar’iyah kulliyah.
c. Pencurahan
segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali mengenai masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh nas,
dengan sarana-sarana yang dibolehkan oleh syara’ guna ditetapkan hukumnya.
Itulah yang disebut ijtihad bir-rayi.
C.2
FUNGSI IJTIHAD
Di antara fungsi ijtihad, antara
lain sebagai berikut.
a. Memberikan
kebebasan berpikir kepada manusia untuk memecahkan beragam persoalan yang
dihadapi dengan akal pikiranyang sesuai dengan ketentuan hukum islam;
b. Memberikan
kebebasan berpikir kepada umat islam untuk kembali mengkaji hukum-hukum islam
yang telah lalu sehinggahkukm tersebuttetap dapat digunakanuntuk masa kini;
c. Agar
tidak terjadi kemandekan cara berpikirumat islam dan menghindari segala bentuk
taklid (mengikuti dengan cara apa adanya;
d. Untuk
memberi kejelasan hukum terhadap persoalan-persoalan yang tidak ada ketentuan
hukum sebelumnya.[10]
C.3
SUMBER HUKUM IJTIHAD
Diantara sumber
hukum yang menetapkan bahwa ijtihad merupakan dasar sumber hukum (tasyri’)
adalah Al Qur’an,as sunnah, dan secara akal (aqliyah)
a. Al
Qur’an
Allah swt. berfirman dalam
surah an Nisa’ Ayat 59
Artinya:
Wahai orang-orang yang
beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang
kekuasaan) diantara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pedapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian.yang demikian itu, lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya. (Q.S. an Nisa’:59)
b. As
Sunah
Dialog antara
Rasullullah saw. dan Muaz bin Jabal pada waktu ia diutus ke Yaman dapat
dijadikan sumber ijtihad.
Artinya:
Bagaimana engkau dapat
memutuskan, jika kepadamu diserahkan urusan peradilan? Ia (Muaz) menjawab,
“Saya akan memutuskannya dengan kitabullah”. Bertanya lagi Nabi saw. “Jika
tidak engkau jumpai dalam kitabullah?”. Ia menjawab, “Dengan sunah Rasulullah
saw.” Lalu, Nabi bertanya, “Apabila engkau tidak dapati dalam sunnah
Rasulullah?” Muaz menjawab, “Saya lakukan ijtihad bir-ra’yi. “Berkatalah Muaz,
maka Nabi menepuk dadaku dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufik kepada utusan Rasulullah, sebagaimana Rasulullah telah meridhainya.”
(H.R. at-Tirmidzi: 1249)
c. Aqliyah
(secara nalar/akal)
Allah swt. menjadikan
syariat islam sebagai syariat terakhir yang dapat berlaku bagi semua orang,
tempat, dan pada segala zaman. Al Qur’an dan as-sunnah merupakan kitab yang
bersifat universal dan global sehingga masih banyak hal yang tidak
dispesifikasikan dalam Al Qur,an. Hal itu, berarti manusia menghendaki adanya
ijtihad untuk dapat mengurai dan menyelesaikan persoalannya yang tidak
didapatkan didalam Al Qur’an ataupun as-sunnah. Oleh sebab itu, ijtihad secara
nalar (rasional) untuk saat ini sangat diperlukan.[11]
C.4 MACAM-MACAM DAN
SYARAT MELAKUKAN IJTIHAD
Ijtihad ada dua macam
a. Ijtihad
yang dilakukan beberapa ulama secara kolektif di sebut ijma’
b. Ijtihad
yang dilakukan oleh seorang ulama secara pribadi atau lazim disebut ijtihad
saja.
Syarat melakukan ijtihad, antara
lain:
a. Mengetahui
dengan baik bahasa Arab dan segala seginya sehingga memungkinkan menguasai
susunan katanya (uslub)dan rasa bahasanya (zauqnya);
b. Mengetahui
dengan baik isi kandungan Al Qur’an;
c. Mengetahui
dengan baik sunnah Rasul yang berhubungan dengan hukum;
d. Mengetahui
masalah-masalah hukum yang yang telah menjadi ijma’ para ulama sebelumnya;
e. Mengetahui
ushul fiqih;
f. Mengetahui
kaidah fiqhiyyah;
g. Mengetahui
maksud-maksud syara’;
h. Mengetahui
rahasia-rahasia syara’;
i.
Mempunyai niat yang suci dan benar.
Syarat-syarat tersebut
diperlukan bagi mujtahid mutlaq yang bermaksud mengadakan ijtihad dalam segala
masalah fiqih masa lampau. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan ilmu
pengetahuan dimasa sekarang, syarat-syarat tersebut tentu belumlah cukup.
Untuk melakukan
ijtihad, diperlukan pola pemahaman terhadap ilmu pengetahuan secara umum dengan
segala cabangnya. Akan tetapi, itu bukanlah suatu yang muudah. Namun,
memerlukan kerja keras dan usaha serius. Oleh sebab itu, ijtuhad secara
kolektif sangat membantuuntuk melakukan ijtihad yang efektif.
C.5 TINGKATAN MUJTAHID
Tingkatan mujtahid (orang yang
melakukan ijtihad) sangat tergantung pada aktivitas dan sifat mujtahid itu
sendiri. Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan,
tingkatan mujtahid terdiri atas mujtahid fisy-syar’i, mujtahid fil-masa’il,
mujtahid fil-mazhab, dan mujtahid muqayyad.
a. Mujtahid
fisy-syar’i
Mujtahid fisy-syar’i
adalah orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah syariat
yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup
berijtihad. Merekalah yang membangun mazhab-mazhab tertentu. Ijtihad yang
mereka lakukan itu semata-mata hasil usahanya sendiri tanpa mencangkok dari
pendapat orang lain. Oleh karena itu, mereka disebut dengan mujtahid mustaqil
(berdiri sendiri). Mereka yang termasuk mujtahid fisy-syar’i antara lain Imam
Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Al Auza’i dan
Ja’far as Siddiq.
b. Mujtahid
fil-masa’il
Mujtahid fil-masa’il
adalah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu
mazhab, bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya, at-Tahwi
mujtahid dalam mazhab Hanafi, Imam al-Gazali mujtahid dalam mazhab Syafi’i,
al-Khiraqi mujtahid dalam mazhab Hambali.
c. Mujtahid
fil-mazhab
Mujtahid
yang hasil ijtihadnya tidak sampai membentuk mazhab tersendiri. akan tetapi,
mereka cukup mengikuti salah seorang imam mazhabyang telah ada dengan beberapa
perbedaan, baik dalam beberapa masalah yang utama maupun dalam beberapa masalah
cabang. Misalnya, Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ibnul-Hasan adalah mujtahid
fil-mazhab Hanafi dan Imam Al Muzani adalah mujtahid fil mazhab Syafi’i.
d. Mujtahid
muqayyad
Mujtahid muqayyad
adalahmujtahid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat-pendapat ulama salaf
dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya. Mereka mampu
menetapkan yang lebih utama diantara pendapat-pendapat yang berbeda-beda dalam
suatu mazhab dan membedakan antara riwayatyang kuat dan yang lemah. Mereka itu,
antara lain al-Karakhi mujtahid dalam mazhab Hanafi dan ar-Rafi’i dan an-Nawawi
mujtahid dalam mazhab Syafi’i.[12]
C.6 BATASAN IJTIHAD
Ijtihad bisa dikatakan sebuah
konsep yang menggambarkan usaha mujtaid secara maksimal dalam penalaran
sehingga menghasilkan pendapat pribadi yang orisinil, dalam perkembangannya
telah dibatasi dengan seperangkat pengertian. Akan tetapi sesuai dengan
pembatasan yang dibuat dalam uraian ini, maka pengertian ijtihad akan dilihat
sepanjang pemakaiannya pada periode awal sejarah islam tepatnya pada masa
Rasulullah dan Khulafa al Rasyidin.
Perkataan
al ijtihad seperti yang diuraikan dalam lisan al-arab, sejarah bahasa berasal
dari kata al-jahd yang berarti al-thaqah artinya upaya sungguh-sungguh. Bentuk
kata ijtihad berwazan atau bersepadan dengan kata ifta ‘ala yang menunjukan
arti mubalagah (keadaan lebih) atau maksimal dalam suatu tindakan atau
perbuatan. Dalam Al Qur’an kata al-jahd dapat ditemukan pada tiga tempat. Pada
ketiga tempat itu, kata tersebut mengandung arti (bazl al was’i wa al thaqah)
mencurahkan kemampuan atau upaya sungguh-sungguh. Arti demikian dapat ditemukan
dalam surat an-Nur ayat 53
“Dan mereka bersumpah
dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah...” ( Q.S.an-Nur/24:53)
Kata ijtihad tidak boleh dipakai kecuali dalam
persoalan-persoalan yang memang besar dan sulit. Kata ijtihad dalam munjid
al-Thulab juga mempunyai arti yang sama yaitu bazl al-wus’i (penumpahan segala
kesempatan).
Ungkapan kata ijtihad seharusnya dipakai dalam
persoalan-persoalan yang memang berat dan sulit secara hissi (fisik) seperti
suatu perjalanan. Atau persoalan-persoalan yang sulit secara ma’nawi (non
fisik) seperti melakukan penelaahan teori ilmiyah dan upaya menistinbathkan
hukum. Dengan demikian jelaslah bahwa dalam artian bahasa, ijtihad menunjukan
pada usaha yang sungguh-sungguh. Atas dasar ini tidaklah tepat apabila kata
ijtihad ini dipergunakan untuk melakukan suatu kegiatan yang ringan.
Pengguanaan pengertian yang tidak tepat itu sebagaimana digambarkan dalam ucapan
dibawah ini: “ijtihada fulanun fi hamli al qalami”. Seorang telah berusaha
dengan segala upaya untuk mengangkat pena.
Menurut Ahmad Hasan,
pembagian kata ijtihad pada periode awal di pergunakan dalam pengertian yang
lebih sempit dan lebih khusus, sedangkan pada periode selanjutnya seperti pada
masa al- Syafi’i dan masa sesudahnya pengertian itu manjadi luas. Istilah
ijtihad mengandung arti pekerjaan yang bijaksana yang adil atau pendapat
seorang ahli sebagai contoh, Ahmad Hasan mengutip salah satu riwayat yang
terdapat dalam al-muwataq, yang menceritakan bahwa pada suatu hari 3 Ramadan,
umar ibnu al khattab mengumumkan bahwa saat matahari terlihat kembali keupuk
barat. Terhadap pertimbangan yang telah diumumkannya, dikabarkan ia mengatakan:
“bukan soal yang gawat kami sudah berijtihad (qad ijtihadna)”.[13]
IV.
KESIMPULAN
Dari
materi diatas tentang Sumber Ajaran Islam dapat disimpilkan bahwa terdapat 3
pokok yang menjadi sumber ajaran bagi umat islam. yaitu, Al-Qur’an, hadis dan
Ijtihad. Dimana Al-qur’an adalah nama bagi kitab suci umat islam yang berfungsi sebagai petunjuk hidup (
hidayah ) bagi seluruh umat manusia.
Hadis merupakan sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW. Baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau. Dan Ijtihad merupakan pencurahan
segenap kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali
dari dalil-dalilnya yang tafsili.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah kami yang berjudul SUMBER AJARAN
ISLAM kami menyadari makalah ini masih banyak kekuranganya,
karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun kami terima. Semoga makalah
ini sangat berguna bagikita semua . Amin
[1].Mukadimah Al-Qur’an dan
tafsirnya,Jakarta:LP Al-Qur’an Departemen Agama, 2009, hlm 6
[2] .chpoirudin
hahdhiri,klasifikasi kandungan al qur’an,Jakarta:gema insani.2005.hlm.6.
[4].Sayyed husain naser,Islam dalam Cita dan Fakta,Alih bahasa:
Abdurrohman Wahid dan Hasyim Wahid,leppenas,1983,hlm.27.
Drs.Munzier
Suparta,MA,Ilmu Hadis,PT RajaGrafindo
Persada,Jakarta,2002,hlm 18-22
Drs.Munzier
Suparta,MA,Ilmu Hadis,PT RajaGrafindo
Persada,Jakarta,2002,hlm 45-47
[10] M. Rizal Qosim, PENGALAMAN
FIKIH, PT TIGA SERANGKAI MANDIRI,
Solo : 2009, hlm 52-53
[11] M. Rizal Qosim, PENGALAMAN
FIKIH, PT TIGA SERANGKAI MANDIRI,
Solo : 2009, hlm 53-54
[12] M. Rizal Qosim, PENGALAMAN
FIKIH, PT TIGA SERANGKAI MANDIRI,
Solo : 2009, hlm 54-55
Drs.Shobirin,M.Ag,IJTIHAD KHULAFA’ AL-RASYIDIN, RaSAIL Media Group,Semarang:2008, hlm 20-21
[13] Drs.Shobirin,M.Ag,IJTIHAD
KHULAFA’ AL-RASYIDIN, RaSAIL Media Group,Semarang:2008,
hlm 20-21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar