Selasa, 23 April 2013

MAKALAH PSI "SUMBER AJARAN ISLAM"


I.                   PENDAHULUAN
              Islam adalah agama yang sempurna yang tentunya sudah memiliki aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki sumber-sumbernya sendiri sebagai pedoman dan pelaksananya.
              Kehadiran agama islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang lebih baik, sejahtera lahir dan batin.
              Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat dalam sumber ajarannya, yaitu Al-Qur’an yang merupakan sumber ajaran islam pertama dan Hadist merupakan sumber yang kedua, tampak ideal dan agung. Ditambah lagi dengan berbagai pemikiran-pemikiran ulama’ tentang hukum-hukum yang masih global di pembahasan Al-Qur’an dan Hadist Al-Qur’an adalah kitab suci yang isinya mengandung firman-firman Allah SWT turun secara bertahap kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat jibril. Sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik perbuatan, perkataan, dan penetapan pengakuan. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran mengenai berbagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan, kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, menghormati antar agama, berakhlak mulia, dan bersikap positif lainnya.

II.         RUMUSAN MASALAH
A.    Apakah Pengertian Al-Qura’n dan Ruang lingkupnya ?
A.1 Kandungan dan Fungsi Al-Qur’an.
A.2  Asbab AlNuzul.
A.3 Kemukjizatan Al-Qur’an.
A.4 Nama Al-Qur’an.

B.     Bagaimanakah Ruang Lingkup Hadis?
B.1 Bentuk-bentuk Hadis.
B.2 Ilmu Hadis.
B.3 Unsur-unsur Hadis.
B.4 Pembagian Hadis
§  Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitasnya.
§  Hadis Ditinjau dari Segi Kualitasnya.

C.    Seputar Pengertian dan Ruang lingkup Ijtihad.
C.1 Pengertian Ijtihad.
C.2 Fungsi Ijtihad.
C.3 Sumber Hukum Ijtihad.
C.4 Macam-macam dan Syarat ijtihad.
C.5 Tingkatan Mujtahid.
C.6 Batasan-Batasan Ijtihad.



III.       PEMBAHSAN
A.    Pengertian Al-Qur’an dan Ruang lingkupnya
            Al-Qur’an adalah nama bagi kitab suci umat islam yang berfungsi sebagai petunjuk hidup ( hidayah ) bagi seluruh umat manusia. Al-Qur’an diwahyukan olah Allah kepada nabi Muhamad setelah beliau genap berumur 40 tahun. Al-Qur’an diturunkan kepada beliau secara berangsur - angsur selama 23 tahun. Turunya Al-Qur’an kepada beliau tidak menentu dari segi waktu dan keadaan. Kadangkala pada waktu musim panas dan adakalanya di musim dingin. Kadangkala malam hari tetapi sering pula turn di siang hari. Kadangkala dalam berpergian tetapi sering pula turun pada saat beliau tidak dalam berpergian. Semuanya itu Allah yang mengaturnya, bukan kehendak Rasulullah.[1]
            Al-Qur’an adalah kalimat Allah yang sudah sempurna benar dan adil isinya. Tidaklah ada yang mengubah kalimat-kalimat Allah tersebut. Al-qur’an itu tidak ain hanyalah petunujuk semesta alam.[2]



            Menurut kebanyakan kitab ulumul Qur’an sebagai berikut:
Al-qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhamad SAW untuk mengalahkan musuh dengan satu surah darinya, dan menerangkan akida-akidah dan hukum-hukum dll.
A.1 Kandungan dan fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab sarat dengan kandungan, mulai hukum, akidah, etika, hubungan sosial dan sebagainya.
Fungsi diturunkanya Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu. Selain itu juga sebagai pembeda antara yang hak dan yang batil. Al-qur’an tidak ada keraguan didalamnya bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa sensntiasa ingin mendapatkan petunju dari Allahdalam hidupnya.
 Dari keseluruhan isi al-Qur’an, sebagaimana dikatakan oleh Kallaf, pada dasarnya mengandung pesan-pesan:
1.      Masalah tauhid, termasuk di dalamnya masalah kepercayaan terhadap yang gaib.
2.      Masalah ibadah, yaitu perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan di dalam hati dan jiwa.
3.      Maslah janji dan acaman, yaitu jani dengan aasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan ancaman atau siksa bagi mereka yang berbuat jahat, janji akan memperoleh kebahagian dunia akherat, dan ancaman akan mendapat kesengsaraan dunia akherat, janji dan ancaman di akhirat berupa surga an neraka.
4.      Jalan menuju kebahagiaan dunia-akhirat, berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar dapat mencapai keridhohan Allah.
5.      Riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu, baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun Nabi dan Rosul Allah.
                        Ditinjau secara garis besar dari hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, kandungan al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi tiga.
1.      Hukum-hukum yang berkenaan dengan i’tiqad (kenyakinan) yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, dan rasul-rasul-Nya.
2.      Hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak (etika), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan perilaku hati yang mengajak  manusia untuk berakhlak mulia dan berbudi luhur.
3.      Hukum-hukum yang berkenaan dengan amaliyyah (tindakan praktis), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan semua tndakan yang dilakukan oleh manusia secara nyata, meliputi ucapan serta perbuatan yang berhubungan dengan perintah,larangan, dan penawaran yang terdapat al-Qur’an.
            Pokok kandungan yang ketiga ini secara dimensional mencakup pola hubungan vertikal dan horisontal. Amaliyyah yang berdimensi vertikal adalah amaliyyah yang berkanaan dengan hubungan dengan hamba dengan Allah. Bentuknya adalah ibadah. Bentuk ibadah antara lain: mahdlah, seperti sholat dan puasa. Ada berbentuk ghairu mahdlah yang juga mengandung maliyyah-ijtima’iyyah (sosial-kebendaan) seperti zakat dan juga badaniyyah-ijtima’iyyah (sosial-kejasmani) sebagaimana haji. Keempat jenis ibadah ini (shalat, puasa,zakat, dan haji) dijadikan sebagai dasar Islam setelah iman.
            Adapun amaliyyah yang berdimensi horizontal adalah amaliyyah yang berkenaan dengan hubungan antar hamba satu dengan yang lainnya. Amaliyyah jenis ini dapta diklasifikasikan menjadi empat macam;
1.      Aturan syari’at yang berorientasi perluasan dan pengamanan dakwah Islam, yaitu jihad.
2.      Aturan syari’at yang berorientasi membangun tatanan rumah tangga sebagaimana hal ihwal perkawinan, talak, nasab, pembagian harta pustaka dan lain sebagainya.
3.      Aturan yang berorientasi pada regulasi hubungan antar manusia seperti jual beli, persewaan,dll yang dikenal dengan mu’amalah(transaksi).
4.      Aturan atau undang-undang yang memuat sanksi atas tindak kejahatan. Hal ini diterapkan dengan qishash dan had.
Materi yang terkandung dalam Al-Qur’an sangat banyak dan beragam dari hubungan manusia dengan Allah, hubungan antar manusia dengan alam semesta. Sebagian ulama memberikan intisari dari kandungan Al-Qur’an menjadi 3 hal yaitu:
1.      Pengetahuan tentang Zat yang disembah (ma’rifatul-ma’bud)
2.      Pengetahuan tentang cara beribadah (ma’rifatu kaifiyyahtil-ibadah)
3.      Pengetahuan tentang nasib manusia (ma’rifatu masiril-ibad)[3]
A.2 Asbab al-Nuzul
Proses turunya wahyu adakalanya dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa, atau pertanyaan sahabat, dan adakalanya tanpa sebab yang menjadi latar belakangnya. Artinya, ada ayat yang turun tanpa ada preseden yang mandahulinya.  Ayat dalam kategori semacam ini turun memang atas kehendak Allah.
Asbab al-nuzul adalah hal-hal yang diungkapkan atau dijelaskan hukumnya oleh suatu ayat atau beberapa ayat pada saat ayat tersebut diturunkan.  Secara lebih jelas, yang dimaksud dengan asbab al-nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah atau pertanyaan-pertanyaan yang dating dari kalangan sahabat yang mana pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi perhatian khusus Rasulullah.
Ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan mengetahui asbab al-nuzul:
1.      Mengetahui hikmah pensyari’atan suatu hukum.
2.      Membantu pemahaman makna suatu ayat serta menjelaskan isykal ( kejanggalan atau kesulitan makna). 
3.      Menepis persangkaan hasr (ketentuan pada suatu hal semata). Sebagaimana firman Allah dalam surat al-An’am [6]:145
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".(QS.Al-an’am 145)
Imam al-Syafi’i mengatakan bahwa orang-orang kafir menganggap haram terhadap apa yang dihalalkan oleh Allah, menganggap halal apa yang diharamkan oleh Allah, dan selalu berseberangan dan bertentangan dengan syari’at-Nya, maka turunlah ayat ini dengan tujuan menentang kehendak mereka.
4.      Men-takhshish hukum dengan asbab al-nuzul ayat.
5.      Mengetahui bahwa sebab turunnya ayat tidak keluar dari cakupan keumuman hukumnya, walaupun ada keterangan yang men-takhshish keumuman ayat.
6.      Mengetahui tentang apa dan tentang siapa ayat diturunkan.
7.      Secara psikologis dapat memudahkan penghafalan dan menancapkan kefahaman bagi orang yang mendengarkan ayat ssekaligus mengetahui latar belakang turunnya.
Asbab al-nuzul bisa ditinjau dari berbagai aspek. Salah satunya ditinjau dari aspek bentuknya. Pertama, berbentuk peristiwa. Kedua, berbentuk pertanyaan. Asbab al-nuzul berbentuk peristiwa ada tiga macam, pertengkaran; kesalahan yang serius; dan cita-cita dan harapan. Asbab al-nuzul yang bentuk pertanyaan dibagi menjadi tiga macam pula, yaitu pertanyaan tentang masa lalu, masa yang sedang berlangsung, dan masa yang akan datang.
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang menurun, asbab al-nuzul dapat dibagi menjadi ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun satu) dan ta’addud al-nazil wa al-asbab wahid (inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedangkan sebab turunnya satu). Sebab turunnya ayat disebut ta’addud bila ditemukan dua riwayat yang berbeda atau lebih tentang sebab turun suatu ayat atau sekelompok ayat tertentu. Sebaliknya, sebab itu disebut wahid atau tunggal bila riwayatnya hanyu ayat satu. Suatu ayat atau sekelompok ayat yang turun disebut ta’addud al-nazil, bila inti persoalan yang terkandung dalam ayat yang turun sehubungan dengan sebab tertentu lebih dari satu persoalan.
Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turunnya ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebut lawannya, maka kedua riwayat ini diteliti dan dianalisis. Permasalahannya ada empat bentuk. Pertama, salah satu dari keduanya sahih dan yang lainnya tidak. Kedua, keduanya sahih. Akan tetapi salah satunya mempunyai penguat (murajjih), dan yang lainnya tidak.  Ketiga, keduanya sahih dan keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat  (murajjih). Akan tetapi keduanya dapat diambil sekaligus. Bentuk keempat, keduanya sahih, tidak mempunyai penguat (murajjih), dan tidak mungkin mengambil keduanya sekaligus.
Bentuk pertama diselesaikan dengan jalan memegangi riwayat yang sahih dan menolak yang tidak sahih. Bentuk kedua penyelesainnya dengan mengambil yang kuat (rajihah).  Penguat (murajjih) itu adakalanya salah satunya lebih sahih dari yang lainnya atau periwayat salah satu dari keduanya menyaksikan kisah itu berlangsung sedang periwayat lainnya tidak demikian. Bentuk ketiga penyelesainnya dengan menganggap terjadinya beberapa sebab bagi turunnya ayat tersebut. Adapun bentuk keempat penyelesainnya dengan menganggap berulang-ulangnya ayat itu turun sebanyak asbab al-nuzul-nya.
A.3 Kemukjizatan Al-Qur’an
                        Mukjizat ialah perkara luar biasa yang disertai tangan dan tidak ada yang sanggup menjawab tantangan itu. Menurut jalaludin as-Suyuti mukjizat dibagi menjadi dua yakni yang bersifat empiris dan yang bersifat aqliyah. Yusuf  Qardawi juga membagi mukjizat seperti yang di ungkapkan as-suyuti walaupun dengan bahasa yang berbeda yaitu mukjizat yang terindra dan materiildan yang immateri dan intelek. Yang terindera sama dengan empiris dan yang immetateri dan intelek sama dengan aqliyah.
                                    Mukjizat yang bersifat material banyak dianugerahkan Allah kepada Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Seperti yang disebutkan dalam AL-Qur’an .Diantaranya adalah onta Nabi Shalih, Tongkat Nabi Musa,Kemampuan Nabi Sulaiman memahami bahasa binatang, kemampuan Nabi Isa menyembuhkan penyakit dan lain-lain. Sedangkan mukjizat yang bersifat intelek adalah mukjizat berupa kitab AL-Qur’an yang diberikan kepada Rasulullah saw.
                                    Allah menjadikan AL-Qur’an sebagai tanda kekuasaan terbesar dan mukjizat teragung bagi Nabi Muhammad saw. Bahkan Allah menjadikan tanda kebesaran satu-satunya yang bersifat menantang. Allah tidak meenantang orang-orang musyrik dengan setiap benda (kejadian) yang Allah anugerahkan dengan segala keragaman dan kuantitasnya, kecualali AL-Qur’an. Sehingga, mukjizat Isra (memperjalankan Nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha) dan mikraj(dari Masjidil Aqsha kelangit tertinggi,sidratil muntaha), tidak dianggap AL-Qur’an sebagai mukjizat yang menantang. Allah menantang mereka hanya dengan AL-Qur’an.

            A.4 Nama Al Qur’an
                        Al-Qur’an memiliki bebeapa nama sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad saw. Diantara sekian banyak nama yang paling mashur adalah Al-Kitab dan Al-Qur’an.Dinamakan Al-kitab karena memberi pengertian bahwa wahyu yang dirangkum dalam bentuk tulisan yang merupakan kumpulan huruf-huruf dan menggambarkan ucapan(lafal).[4] Sedangkan wahyu itu dinamakan Al-Qur’an karena memberikan pengertian bahwa itu itu tersimpan di dalam dad manusia, mengingat nama ssAl-Qur’an sendiri berasal dari kata qiro’ah dan di dalam qiro’ah terkandung makna agar selalu ingat.
                        Imam as-Suyuti memerinci nama-nama lain dari Al-Qur’an yaitu: Busro (kabar gembira), ilmu (pengetahuan), Al urwatu (itikat yang kuat), Hablullah (tali Allah), bayaanun linnas (keterangan bagi manusia), munadiy (penyeru), nurun mubin (cahaya yang terang),muhaimin (penyaksi), al adl (keadilan), sirothum mustaqim (jalan lurus),basha’ir (penjelas), kalmullah (kalam allah), hakib (bijaksana) dll.
                        Nama al qur’an yang sedemikian banyak ini mengisyaratkan bahwa al qur’am adalah kitab suci yang berdimensi banyak dan berwawasan luas serta menunjukan kemulyaan dan kesempurnaanya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan al fairuz abadi bahwa banyaknya nama yang di sematkan dalam al qur’an adalah untuk menunjukan kemulyaan dan kesempurnaan al qur’an, yaitu sebagai pedoman  dalam mengarungi kehidupan menuju kebahagiaan dan kesejahteraan.[5]
                        Sebagaimana disinggung dalam tulisan diatas bahwa salah satu nama Al-Qur’an asy-syifa yang artinya penawar atau penyembuh. Jadi Al-Qur’an adalah obat bagi manusia, bagi penyakit ruhahani maupun jasmania.[6]

B. HADIS
 Hadis atau al-hadis menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru –lawan dari al-Qadim-artinya yang berarti menunjukan kepada waktu yang dekat atau waktu yang seperti (orang yang baru masuk/memeluk agama islam). Hadis juga sering disebut dengan al-khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadits. Dimana hadits mencakup segala perktaan, perbuatan dan taqrir nabi SAW.

B.1 BENTUK-BENTUK HADIS
Pada bahasan ini akan diuraikan tentang bentuk hadis Qauli, Fi’li, Taqriri, Hammi dan Ahwali.
Ø   Hadis Qauli
Yang dimaksud dengan hadis qauli adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW. Yang berupa perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan, baik yang berkaitan dengan aqidah, syari’ah, ahlak maupun yang lainnya. Contonya tentang do’a Rosul SAW dan bacaan al-Fatihah dalam shalat.

Ø  Hadis Fi’li
Yang dimaksudkan dengan Hadis Fi’li adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perbuatannya sampai kepada kita. Seperti Hadis tentang Shalat dan Haji.

Ø  Hadis Taqriri
Yang dimaksud hadis Taqriri adalah segala hadts yang berupa ketetapan Nabi SAW. Membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, setelah memenuhi beberapa syarat, baik mengenai pelakunya maupun perbuatannya.
Diantara contoh hadis Taqriri, ialah sikap Rosul SAW. Membiarkan para sahabat melaksanakan perintahnya,sesuai dengan penafsirannya masing-masing sahabat terhadap sabdanya.[7]

Ø  Hadis Hammi
Yang dimaksud dengan Hadis Hammi adalah hadis yang berupa hasrat Nabi SAW. Yang belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Dalam riwayat Ibn Abbas, disebutkan sebagai berikut:
“Ketika Nabi SAW berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: Ya Nabi! Hari ini adalah hari yang diagung-agungkan orang Yahudi dan Nasrani.Nabi SAW. Bersabda: Tahun yang akan datang insya’Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan”.(HR.Muslim)
Nabi SAW belum sempat merealisasikan hasratnya ini, karena wafat sebelum sampai bulan ‘Asyura. Menurut imam Syafi’I dan para pengikutnya, bahwa menjalankan Hadits Hammi ini disunnahkan, sebagaimana menjalankan sunnah-sunnah yang lainnya.

Ø  Hadis Ahwali
Yang dimaksud dengan Hadis Ahwali adalah Hadis yang berupa hal ihwal Nabi SAW. Yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya. Tentang keadaan fisik Nabi SAW dalam beberapa Hadis disebutkan, bahwa fisiknya tidak terlalu tinggi dan tidak pendek, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Barra dalam sebuah Hadis riwayat Bukhari, yang berarti :
“Rasul SAW adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek”.(HR.Bukhari)

B.2 ILMU HADIS  
Pengrtian Ilmu Hadis, menurut ulama Mutaqqaddimin :
“Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan Hadis sampai kepada Rasul SAW. Dari segi ihwal para perawinya,kedabitan, keadilan dan dari bersambung tidaknya sanad dan sebagainnya”.
Pada perkembangan selanjutnya, oleh ulama mutaakhirin, ilmu hadis ini dipecah menjadi dua, ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah.

a.             Ilmu Hadis Riwayah
Ialah “Ilmu pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan taqrir, tabi’at maupun tingkah lakunya".
Obyek ilmu Hadis Riwayah ialah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain, dan memindahkan atau mendewankan. Dalam membukukan dan menyampaikan Hadis hanya disebutkan apa adanya, baik yang berkaitan dengan matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan tentang Syadz (kejanggalan) dan ‘Illat (kecacatan) matan Hadis. Demikian pula ilmu ini tidak membahas tentang kualitas para perawi, baik keadilan, kedabitan, atau fasikannya.
Adapun faedah mempelajari ilmu Hadis Riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya yang pertama, yaitu Nabi SAW.

b.            Ilmu Hadis Dirayah

Ilmu Hadis Dirayah biasa juga disebut sebagai Ilmu Musthalah Al-Hadits, Ilmu Ushul Al-Hadits, Ulum Al-Hadits, dan Qawa’id Al-Tahdits.
Ibnu al-Akfani mendefinisikan ilmu ini sebagai berikut:
“Ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam dan hokum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi, baik syarat-syaratnya, macam-macam Hadis yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya”.
Yang dimaksud dengan:
·         Hakikat periwayatan adalah penukilan hadis dan penyandarannya kepada sumber Hadis atau sumber berita.
·         Syarat-syarat periwayatan ialah penerimaan perawi terhadap Hadis yang akan diriwayatkannya denngan bermacam-macam cara penerimaan, Seperti melalui Al-sama (pendengaran), Al-Qira’ah (pembacaan), Al-Washiah (berwasiat), Al-ijazah (pemberian ijin dari perawi).
·         Macam-macam periwayatan ialah membicarakan sekitar bersambung dan terputusnya periwayatan dan lain-lain.
·         Hukum-hukum Periwayatan ialah pembicaraan sekitar diterima atau ditolaknya suatu Hadis.
·         Keadaan para perawi ialah pembicaraan sekitar keadilan, kecacatan para perawi, dan syarat-syarat mereka dalam menerima dan meriwayatkan Hadis.
·         Macam-macam Hadis yang diriwayatkan meliputi hadis-hadis yang dapat dihimpun pada kitab-kitab tanshif, ktab tasnid, dan kitab mu’jam.[8]




B.3 UNSUR-UNSUR POKOK HADIS
1.      Sanad
Kata “sanad” menurut bahasa adalah “sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadis bersandar kepadanya. Menurut istilah, “Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang menyampaikan kepada matan hadis”.
Yang berkaitan dengan istilah sanad, terdapat kata-kata seperti al-isnad,al-musnid, dan al-musnad. Kata al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan
(mengembalikan ke asal), dan mengangkat. Sedang kata al-musnad, mempunyai beberapa arti. Bisa berarti hadis yang disandarkan atau disanadkan oleh seseorang; bias berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan system penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat para perawi hadis, sperti kitab Musnad Ahmad; bias juga berarti nama bagi Hadis yang marfu dan muttasil.

2.      Matan
Kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti mairtafa’a min al-ardhi (tanah yang meninggi). Sedang menurut istilah:
“Suatu tempat berakhirnya sanad”atau’Lafaz-lafaz hadis yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu”.

3.      Rawi
Kata “Rawi” atau”al-rawi” berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadis (naqil al-hadits).
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadis pada tiap-tiap tabaqahnya, juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadis. Akan tetapi yang membedakan antara rawi dan sanad adalah terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadis. Orang yang menerima hadis dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan perawi. Dengan demikian, maka perawi dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun).

B.4 PEMBAGIAN HADIS
§  HADIS DITINJAU DARI SEGI KUANTITAS
i.            Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang dating berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya. Secara istilah “Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”.
Syarat hadis mutawatir menurut ulama mutaakhirin:
a.       Diriwayatkan oleh sejumlah  besar perawi
b.      Adanya keseimbangan antara perawi pada thaqabat pertama dengan thaqabat berikutnya
c.       Berdasarkan tanggapan pancaindra
ii.            Hadis Ahad
Al-ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa  berarti al-wahid atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.
Sedang yang dimaksud hadis ahad menurut istilah “Khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasab jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertan bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir”.

§   HADIS DITINJAU DARI SEGI KUALITASNYA

i.        Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti ma’khaz (yang diambil) dan mushaddaq(yang dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut istilah: ‘hadis yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan”.[9]
Syarat-syarat penerimaan suatu hadis menjadi hadis yang maqbul berkaitan dengan sanadnya, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yag adil lagi dhabit, dan juga berkaitan dengan matannya tidak syadz dan tidak ber’illat.


ii.      Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang “tidak diterima”. Sedang menurut istilah: “hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul”.

C. IJTIHAD
C.1PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad secara bahasa berarti Pencurahan segenap kesangguoan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan.
Sedangkan menurut istilah adalah pencurahan segenap kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali dari dalil-dalilnya yang tafsili.
Abdul Wahab Khallaf menerangkan Ijtihad dalam arti luas, meliputibeberapa hal berikut:
a.       Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang dikehendaki oleh nas yang zanni dalalahnya.
b.      Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali dengan meneyapkan kaidah syar’iyah  kulliyah.
c.       Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali mengenai masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh nas, dengan sarana-sarana yang dibolehkan oleh syara’ guna ditetapkan hukumnya. Itulah yang disebut ijtihad bir-rayi.

C.2 FUNGSI IJTIHAD
Di antara fungsi ijtihad, antara lain sebagai berikut.
a.       Memberikan kebebasan berpikir kepada manusia untuk memecahkan beragam persoalan yang dihadapi dengan akal pikiranyang sesuai dengan ketentuan hukum islam;
b.      Memberikan kebebasan berpikir kepada umat islam untuk kembali mengkaji hukum-hukum islam yang telah lalu sehinggahkukm tersebuttetap dapat digunakanuntuk masa kini;
c.       Agar tidak terjadi kemandekan cara berpikirumat islam dan menghindari segala bentuk taklid (mengikuti dengan cara apa adanya;
d.      Untuk memberi kejelasan hukum terhadap persoalan-persoalan yang tidak ada ketentuan hukum sebelumnya.[10]
C.3 SUMBER HUKUM IJTIHAD
Diantara sumber hukum yang menetapkan bahwa ijtihad merupakan dasar sumber hukum (tasyri’) adalah Al Qur’an,as sunnah, dan secara akal (aqliyah)
a.       Al Qur’an
Allah swt. berfirman dalam surah  an Nisa’ Ayat 59
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pedapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. an Nisa’:59)
b.      As Sunah
Dialog antara Rasullullah saw. dan Muaz bin Jabal pada waktu ia diutus ke Yaman dapat dijadikan sumber ijtihad.
Artinya:
Bagaimana engkau dapat memutuskan, jika kepadamu diserahkan urusan peradilan? Ia (Muaz) menjawab, “Saya akan memutuskannya dengan kitabullah”. Bertanya lagi Nabi saw. “Jika tidak engkau jumpai dalam kitabullah?”. Ia menjawab, “Dengan sunah Rasulullah saw.” Lalu, Nabi bertanya, “Apabila engkau tidak dapati dalam sunnah Rasulullah?” Muaz menjawab, “Saya lakukan ijtihad bir-ra’yi. “Berkatalah Muaz, maka Nabi menepuk dadaku dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah, sebagaimana Rasulullah telah meridhainya.” (H.R. at-Tirmidzi: 1249)
c.       Aqliyah (secara nalar/akal)
Allah swt. menjadikan syariat islam sebagai syariat terakhir yang dapat berlaku bagi semua orang, tempat, dan pada segala zaman. Al Qur’an dan as-sunnah merupakan kitab yang bersifat universal dan global sehingga masih banyak hal yang tidak dispesifikasikan dalam Al Qur,an. Hal itu, berarti manusia menghendaki adanya ijtihad untuk dapat mengurai dan menyelesaikan persoalannya yang tidak didapatkan didalam Al Qur’an ataupun as-sunnah. Oleh sebab itu, ijtihad secara nalar (rasional) untuk saat ini sangat diperlukan.[11]

C.4 MACAM-MACAM DAN SYARAT MELAKUKAN IJTIHAD
Ijtihad ada dua macam
a.       Ijtihad yang dilakukan beberapa ulama secara kolektif di sebut ijma’
b.      Ijtihad yang dilakukan oleh seorang ulama secara pribadi atau lazim disebut ijtihad saja.
            Syarat melakukan ijtihad, antara lain:
a.       Mengetahui dengan baik bahasa Arab dan segala seginya sehingga memungkinkan menguasai susunan katanya (uslub)dan rasa bahasanya (zauqnya);
b.      Mengetahui dengan baik isi kandungan Al Qur’an;
c.       Mengetahui dengan baik sunnah Rasul yang berhubungan dengan hukum;
d.      Mengetahui masalah-masalah hukum yang yang telah menjadi ijma’ para ulama sebelumnya;
e.       Mengetahui ushul fiqih;
f.       Mengetahui kaidah fiqhiyyah;
g.      Mengetahui maksud-maksud syara’;
h.      Mengetahui rahasia-rahasia syara’;
i.        Mempunyai niat yang suci dan benar.
Syarat-syarat tersebut diperlukan bagi mujtahid mutlaq yang bermaksud mengadakan ijtihad dalam segala masalah fiqih masa lampau. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan dimasa sekarang, syarat-syarat tersebut tentu belumlah cukup.
Untuk melakukan ijtihad, diperlukan pola pemahaman terhadap ilmu pengetahuan secara umum dengan segala cabangnya. Akan tetapi, itu bukanlah suatu yang muudah. Namun, memerlukan kerja keras dan usaha serius. Oleh sebab itu, ijtuhad secara kolektif sangat membantuuntuk melakukan ijtihad yang efektif.



C.5 TINGKATAN MUJTAHID
Tingkatan mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) sangat tergantung pada aktivitas dan sifat mujtahid itu sendiri. Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan, tingkatan mujtahid terdiri atas mujtahid fisy-syar’i, mujtahid fil-masa’il, mujtahid fil-mazhab, dan mujtahid muqayyad.


a.       Mujtahid fisy-syar’i
Mujtahid fisy-syar’i adalah orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah syariat yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Merekalah yang membangun mazhab-mazhab tertentu. Ijtihad yang mereka lakukan itu semata-mata hasil usahanya sendiri tanpa mencangkok dari pendapat orang lain. Oleh karena itu, mereka disebut dengan mujtahid mustaqil (berdiri sendiri). Mereka yang termasuk mujtahid fisy-syar’i antara lain Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Al Auza’i dan Ja’far as Siddiq.
b.      Mujtahid fil-masa’il
Mujtahid fil-masa’il adalah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu mazhab, bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya, at-Tahwi mujtahid dalam mazhab Hanafi, Imam al-Gazali mujtahid dalam mazhab Syafi’i, al-Khiraqi mujtahid dalam mazhab Hambali.
c.       Mujtahid fil-mazhab
Mujtahid yang hasil ijtihadnya tidak sampai membentuk mazhab tersendiri. akan tetapi, mereka cukup mengikuti salah seorang imam mazhabyang telah ada dengan beberapa perbedaan, baik dalam beberapa masalah yang utama maupun dalam beberapa masalah cabang. Misalnya, Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ibnul-Hasan adalah mujtahid fil-mazhab Hanafi dan Imam Al Muzani adalah mujtahid fil mazhab Syafi’i.
d.      Mujtahid muqayyad
Mujtahid muqayyad adalahmujtahid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat-pendapat ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya. Mereka mampu menetapkan yang lebih utama diantara pendapat-pendapat yang berbeda-beda dalam suatu mazhab dan membedakan antara riwayatyang kuat dan yang lemah. Mereka itu, antara lain al-Karakhi mujtahid dalam mazhab Hanafi dan ar-Rafi’i dan an-Nawawi mujtahid dalam mazhab Syafi’i.[12]



C.6 BATASAN IJTIHAD
Ijtihad bisa dikatakan sebuah konsep yang menggambarkan usaha mujtaid secara maksimal dalam penalaran sehingga menghasilkan pendapat pribadi yang orisinil, dalam perkembangannya telah dibatasi dengan seperangkat pengertian. Akan tetapi sesuai dengan pembatasan yang dibuat dalam uraian ini, maka pengertian ijtihad akan dilihat sepanjang pemakaiannya pada periode awal sejarah islam tepatnya pada masa Rasulullah dan Khulafa al Rasyidin.
Perkataan al ijtihad seperti yang diuraikan dalam lisan al-arab, sejarah bahasa berasal dari kata al-jahd yang berarti al-thaqah artinya upaya sungguh-sungguh. Bentuk kata ijtihad berwazan atau bersepadan dengan kata ifta ‘ala yang menunjukan arti mubalagah (keadaan lebih) atau maksimal dalam suatu tindakan atau perbuatan. Dalam Al Qur’an kata al-jahd dapat ditemukan pada tiga tempat. Pada ketiga tempat itu, kata tersebut mengandung arti (bazl al was’i wa al thaqah) mencurahkan kemampuan atau upaya sungguh-sungguh. Arti demikian dapat ditemukan dalam surat an-Nur ayat 53
“Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah...” ( Q.S.an-Nur/24:53)

Kata ijtihad tidak boleh dipakai kecuali dalam persoalan-persoalan yang memang besar dan sulit. Kata ijtihad dalam munjid al-Thulab juga mempunyai arti yang sama yaitu bazl al-wus’i (penumpahan segala kesempatan).
Ungkapan kata ijtihad seharusnya dipakai dalam persoalan-persoalan yang memang berat dan sulit secara hissi (fisik) seperti suatu perjalanan. Atau persoalan-persoalan yang sulit secara ma’nawi (non fisik) seperti melakukan penelaahan teori ilmiyah dan upaya menistinbathkan hukum. Dengan demikian jelaslah bahwa dalam artian bahasa, ijtihad menunjukan pada usaha yang sungguh-sungguh. Atas dasar ini tidaklah tepat apabila kata ijtihad ini dipergunakan untuk melakukan suatu kegiatan yang ringan. Pengguanaan pengertian yang tidak tepat itu sebagaimana digambarkan dalam ucapan dibawah ini: “ijtihada fulanun fi hamli al qalami”. Seorang telah berusaha dengan segala upaya untuk mengangkat pena.
Menurut Ahmad Hasan, pembagian kata ijtihad pada periode awal di pergunakan dalam pengertian yang lebih sempit dan lebih khusus, sedangkan pada periode selanjutnya seperti pada masa al- Syafi’i dan masa sesudahnya pengertian itu manjadi luas. Istilah ijtihad mengandung arti pekerjaan yang bijaksana yang adil atau pendapat seorang ahli sebagai contoh, Ahmad Hasan mengutip salah satu riwayat yang terdapat dalam al-muwataq, yang menceritakan bahwa pada suatu hari 3 Ramadan, umar ibnu al khattab mengumumkan bahwa saat matahari terlihat kembali keupuk barat. Terhadap pertimbangan yang telah diumumkannya, dikabarkan ia mengatakan: “bukan soal yang gawat kami sudah berijtihad (qad ijtihadna)”.[13]
















IV.              KESIMPULAN
Dari materi diatas tentang Sumber Ajaran Islam dapat disimpilkan bahwa terdapat 3 pokok yang menjadi sumber ajaran bagi umat islam. yaitu, Al-Qur’an, hadis dan Ijtihad.  Dimana Al-qur’an adalah nama bagi kitab suci umat islam yang berfungsi sebagai petunjuk hidup ( hidayah ) bagi seluruh umat manusia.
Hadis merupakan sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau. Dan Ijtihad merupakan pencurahan segenap kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali dari dalil-dalilnya yang tafsili.


V.                PENUTUP
Demikianlah  makalah kami yang berjudul SUMBER AJARAN ISLAM   kami menyadari makalah ini masih banyak kekuranganya, karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun kami terima. Semoga makalah ini sangat berguna bagikita semua . Amin




[1].Mukadimah Al-Qur’an dan tafsirnya,Jakarta:LP Al-Qur’an Departemen Agama, 2009, hlm 6
[2] .chpoirudin hahdhiri,klasifikasi kandungan al qur’an,Jakarta:gema insani.2005.hlm.6.
[3] Mukadimah Al-Qur’an dan tafsirnya,Jakarta:LP Al-Qur’an Departemen Agama, 2009, hlm9
[4].Sayyed husain naser,Islam dalam Cita dan Fakta,Alih bahasa: Abdurrohman Wahid dan Hasyim Wahid,leppenas,1983,hlm.27.
4.fahd  ibn Abdurrahman ar-Rumi, ulumul qur’an: study kompleksitas al qur’an, alih bahasa Amirul Hasan dan Muhamad Halabi, Yogyakarta: titian ilahi press, 1997, hlm.40.
5. Ustadz Mustamis Pedak, s.ked, Qur’anic Super Healing :semarang pustaka nuun,2010,hlm.4-5.
[7] Drs.Munzier Suparta,MA,Ilmu Hadis,PT RajaGrafindo Persada,Jakarta,2002,hlm 1
Drs.Munzier Suparta,MA,Ilmu Hadis,PT RajaGrafindo Persada,Jakarta,2002,hlm 18-22
[8] Drs.Munzier Suparta,MA,Ilmu Hadis,PT RajaGrafindo Persada,Jakarta,2002,hlm 21-25
Drs.Munzier Suparta,MA,Ilmu Hadis,PT RajaGrafindo Persada,Jakarta,2002,hlm 45-47
[9] Drs.Munzier Suparta,MA,Ilmu Hadis,PT RajaGrafindo Persada,Jakarta,2002,hlm 95-125
[10] M. Rizal Qosim, PENGALAMAN FIKIH, PT  TIGA SERANGKAI MANDIRI, Solo : 2009, hlm 52-53
[11] M. Rizal Qosim, PENGALAMAN FIKIH, PT  TIGA SERANGKAI MANDIRI, Solo : 2009, hlm 53-54
[12] M. Rizal Qosim, PENGALAMAN FIKIH, PT  TIGA SERANGKAI MANDIRI, Solo : 2009, hlm 54-55
Drs.Shobirin,M.Ag,IJTIHAD KHULAFA’ AL-RASYIDIN, RaSAIL Media Group,Semarang:2008, hlm 20-21
[13] Drs.Shobirin,M.Ag,IJTIHAD KHULAFA’ AL-RASYIDIN, RaSAIL Media Group,Semarang:2008, hlm 20-21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar